Jejak Budaya Kota Mustika

 

Sumber gambar: blorakab.go.id

        

     Pagi pertama di tahun 2025 datang dengan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menempel di daun, seakan memeluk daun-daun itu. Udara yang segar menyapa seolah ingin mengucapkan selamat tahun baru. Ada sesuatu di dalam kota Mustika yang menunggu untuk ditemukan, terpendam dalam jejak-jejak kaki generasi terdahulu. Kini, di tengah riuhnya kota kecil itu, muncul dua sosok yang sedang berusaha menemukan dan merawat akar budaya yang semakin dimakan waktu.

     Di dekat Sungai Blora, dua remaja berdiri memandang aliran air yang tenang. Remaja tersebut bernama Shanum dan Zaki. Shanum merupakan seorang remaja asli Palembang yang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro dan baru menetap beberapa minggu di Blora untuk melakukan penelitian budaya. Ditemani oleh sahabatnya Zaki, yang merupakan pemuda asli Blora. Zaki menunjukkan beberapa tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang Blora.

     “Kamu sudah pernah ke Hutan Randublatung?” Tanya Zaki sambil memberi isyarat ke arah hutan pinggiran kota. Shanum menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa dirinya belum pernah menyentuhkan kaki di hutan tersebut. Melihat respon sahabatnya, Zaki tersenyum.”Mau ke sana gak? Nanti aku ceritakan beberapa hal.” Dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi, Shanum menyetujui tawaran sahabatnya.

     Langkah kaki kedua pemuda tersebut seakan menuntun diri mereka masuk ke Jenggala. Sepanjang jalan, Zaki bercerita tentang Taman tersebut. “Hutan ini punya sejarah panjang loh. Kamu tau PKI kan?” Tanya Zaki. “Tentu saja aku tau. Partai yang melakukan pemberontakan pada tahun 1948 kan? Aku sedih banget banyak korban jiwa karena partai tersebut,” Jawab Shanum, kesedihan terdengar dalam nada bicaranya. “Iya benar, dulu Hutan Randublatung dijadikan lokasi persembunyian oleh pemberontak PKI untuk menghindari kejaran TNI. Selain itu, hutan ini juga pernah menjadi tempat dieksekusi dua tokoh penting keamanan wilayah Karasidenan Pati, yaitu Kolonel Sunandar dan AKBP Agil Kusumodiyo.” Langkah kaki Zaki terhenti, tepat di depan Tugu. Davendra bingung melihat sebuah tugu berdiri di tengah hutan. “Kenapa ada sebuah tugu di sini, Zaki?” Tanya pemuda pendatang itu. Zaki tersenyum dan menjawab pertanyaan sahabatnya. “Tugu ini dibangun untuk mengenang peristiwa heroik dua tokoh penting tadi. Dan sebagai simbol penghormatan  kepada para pahlawan yang gugur dalam menjaga kedaulatan negara.” Mendengar penjelasan dari sahabatnya, perempuan itu memberi hormat ke Monumen Tugu Agil Kusumodiyo. Zaki yang melihat perilaku perempuan pendek yang spontan tidak sanggup menahan tawa. “Kamu ngapain sih?” Tanya Zaki menertawakan tingkah lucu sahabatnya. “Kan memberi hormat! Kok ketawa?” Ujar Shanum kesal dengan ejekan Zaki. Tawa Zaki perlahan meredup, seolah tak kuasa melawan keseriusan dalam tatapan perempuan kecil itu. “Wkwk, iya deh, terserah Shanum,” Ujarnya. “Ada hal menarik lainnya gak?  Cerita dong.” Rasa ingin tahu Shanum mengalir tanpa henti layaknya sungai.

     Zaki dengan senang hati menjawab rasa penasaran sahabatnya itu. “Di Blora juga ada Goa loh, namanya Goa Terawang.” Mendengar pernyataan dari pria itu, Shanum langsung memotong ucapannya. “Wih, banyak gak pengunjungnya? Emang di sana bisa ngapain aja? Kan Goa,” Ucap Shanum. “Pengunjung di sana cukup ramai. Jangan salah kamu, Goa terawang juga ada tempat bermainnya, tempat foto, dan banyak juga monyet-monyet yang berada di objek wisata itu. Selain itu, ada caffe di dalam Goa loh. Jadi pengunjung tidak akan bosan deh!” Shanum dibuat kagum dengan informasi itu. Siapa yang menyangka ada caffe di dalam Goa “Kapan-kapan ke sana yuk!” Ajak Shanum dengan penuh semangat. “Iya, Shanum,” Jawab Zaki. Mata pemuda itu melihat seekor kepompong ulat bersembunyi di belakang daun jati yang gugur. Zaki mengambil daun tersebut dan mendekatkannya ke Shanum. Shanum langsung berteriak. Geli dan kaget berpadu dalam teriakannya, melompat keluar seolah mereka punya nyawa sendiri. “Apaan sih, Ki!” Ujar Shanum kesal. Zaki tertawa melihat perilaku Shanum yang seperti anak kecil. “Hei, tenanglah sejenak. Ini namanya Enthung Jati, masyarakat sekitar biasanya berburu ini loh.” Hati Shanum dipenuhi tanda tanya yang berputar tanpa henti. “Buat apa kok diburu?” Tanya Shanum penasaran. “Buat dimakan,” Jawab Zaki dengan santai, menunggu reaksi perempuan tersebut. “Dimakan? Serius?” Tanya Shanum tidak percaya. “Serius, Shanum. Masyarakat setempat memburunya untuk dimasak lalu dimakan, biasanya pakai nasi hangat” Zaki menjawab. “Kamu suka makan Enthong Jati?” Shanum sangat penasaran rasa seekor kepompong, apakah pahit? Hambar? Keras? Atau apa? Seluruh pikirannya dipenuhi rasa ingin tahu. “Suka dong, kapan-kapan aku ajak kamu makan deh biar tau rasanya,” Ucap pemuda itu.

     Di hutan tersebut, Shanum terpesona oleh alam Blora yang masih alami. Pepohonan yang tinggi menjulang menambah kesejukann suasana. Suara riuh dari berbagai jenis burung yang bermigrasi menambah kesan bahwa budaya dan alam hidup berdampingan. Shanum memandangi aliran sungai, warna air sangat jernih terjaga. Setelah selesai menikmati pemandangan di dalam Hutan Randublatung, Zaki mengajak Shanum mampir ke salah satu desa tua di Blora, Desa Klopo Duwur. Tempat yang menganut sejarah masyarakat Saminisme yang begitu kental terasa.

     Jarak antara Hutan Randublatung ke Desa Klopo Duwur sekitar 40 km. Memakan waktu 1 sampai 2 jam. Kedua remaja itu berboncengan di atas vario, motor matik yang selalu Zaki rawat dengan penuh cinta. Rambut Shanum tertiup angin, menari-nari bebas. Sementara Zaki dengan santai memelintir gas, sesekali melihat ke arah spion motor melirik wanita cantik yang sedang dia bonceng. Dunia di sekitar mereka seolah terhapus, hanya ada tawa ringan dan deru mesin vario yang menemani perjalanan mereka.

     Sesampainya di Desa Klopo Duwur, suasana langsung terasa tenang. Jalan utama desa yang beraspal mengarah pada rumah-rumah sederhana yang berdiri rapat, dilengkapi dengan pemandangan hijaunya sawah di sekitarnya. Zaki memarkirkan motornya di depan sebuah warung kecil yang sudah lama tidak buka. “Udah sampai nih,” Ujar Zaki sambil melepas helm. Tubuh gagah milik pemuda itu turun dari motor dan berjalan ke arah sahabatnya yang sudah turun dari motor dan berdiri di belakang dirinya. Dia melepaskan helm bogo milik Shanum dengan hati-hati, berharap rambut halus perempuan itu tidak rusak. Shanum tersipu dengan tindakan sahabat laki-laki itu. “Terima kasih.” Ucap Shanum dengan suara lembut, selembut kain sutra. “Ayo ikuti aku, kita akan ke rumah kenalanku.” Ajak Zaki sambil mengulurkan tangan, menawarkan gandegan dengan penuh keyakinan. Shanum melihat tangan yang terulur, tanpa rasa ragu ia menggenggamnya. Langkah mereka beriringan, terasa lebih pasti, seolah dunia di sekitar mereka ikut melangkah bersama.

      “Ini rumah Pak Darmo, temennya ayahku,” Kata Zaki sambil menunjuk ke rumah yang tak jauh dari mereka, sebuah rumah panggung sederhana yang terlihat asri dan nyaman, dengan bau tanah yang khas. Mereka berjalan mendekati rumah tersebut lalu berhenti tepat di depannya. Zaki melepaskan gandengan tangannya, kakinya melangkah menuju pintu dan mengetuknya. “Assalamualaikum, permisi Pak Darmo!” Ucap Zaki memanggil tuan rumah. Tak butuh waktu lama, pintu berwarna cokelat yang terukir indah itu terbuka perlahan.Dari baliknya muncul seorang bapak berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya dihiasi keriput tipis di sudut mata, tanda perjalanan hidup yang panjang. Rambutnya yang mulai memutih disisir rapi ke samping, dengan kaos berkerah pudar dan sarung hijau yang melingkar di pinggangnya. “Loh, Zaki ya? Anaknya Pak Kus?” Kalimat pertama yang keluar dari bibir bapak itu. Zaki tersenyum gembira karena Pak Darmo menginggat dirinya. “Iya Pak. Saya Zaki dan perempuan yang berdiri di sana itu Shanum,” Ucap Zaki. Shanum tersenyum dan melangkah mendekat dengan sedikit gugup, tapi senyum ramah tak lepas dari wajahnya. “Salam kenal, Pak.” Shanum berkata lembut sambil sedikit membungkuk sopan. “Saya Shanum, sahabatnya Zaki.” Pak Darmo mengangguk kecil. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. “Oh, saya pikir pacarnya. Silahkan masuk, anggap saja rumah sendiri.” Suara berat tapi penuh kehangatan. Mata Zaki dan Shanum bertemu seolah berbicara. Hubungan mereka memang sahabat, tetapi banyak orang mengira bahwa mereka adalah sebuah pasangan.

     Mereka bertiga duduk di sofa lembut ruang tamu, mata Shanum tidak bisa berhenti mengagumi isi rumah yang tampak sedehana dari luar namun indah di dalam. Terlihat banyak ukiran kayu jati yang dipoles dengan profesional memenuhi rumah tersebut. “Ada apa Zaki datang kemari?” Tanya pria paruh baya itu. “Jadi begini pak, kami dapat tugas dari kampus untuk melakukan penelitian budaya. Kami ingin Pak Darmo menjelaskan tentang Saminisme yang sudah dianut oleh masyarakat Blora dari dulu hingga sekarang.” Zaki menjelaskan tujuan mereka datang menemui Pak Darmo. Pria kepala lima itu tersenyum “Boleh, apalagi kamu membawa perempuan cantik, mana mungkin saya menolak permintaan itu.” Jawab Pak Daemo sambil bergurau. Kedua remaja itu tertawa karena lelucon yang dilontarkan tuan rumah itu.

     Tiba-tiba suasana berubah menjadi tegang. Senyuman ramah yang terlukis di wajah Pak Darmo menghilang dan berubah menjadi serius. “Saminisme itu ajaran yang dianut oleh suku Samin yang merupakan keturunan dari Samin Surosentiko. Mengajarkan sedulur sikep.” Ucap pria itu. “Sedulur sikep itu apa, Pak?” Tanya Shanum penasaran. Zaki melirik ke arah Shanum dan tersenyum, melihat ekspresi penasaran yang sangat terukir jelas di wajah perempuan tersebut. “Pertanyaan yang bagus, sedulur yang berarti saudara dan sikep yang berarti sikap atau cara hidup. Artinya sedulur sikep menggambarkan sebuah kelompok yang hidup dalam prinsip persaudaraan, kesederhanaan, menjunjung nilai-nilai moral. Seperti kejujuran, gotong royong, dan cinta damai.” Jelas Pak Darmo. “Suku Samin tidak suka kekerasan ya? Itu benar tidak?” Tanya Zaki. “Benar, suku Samin menolak segala bentuk kekerasan. Dulu, kami melawan penjajah tidak menggunakan senjata. Tapi meggunakan semangat perlawanan, dalam bentuk menolak membayar pajak dan semua peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Suku ini lebih senang disebut Wong Sikep. Karena sebutan tersebut mengarah ke hal positif, yaitu orang yang baik dan jujur.” Kata Pak Darmo. “Lalu siapa itu Samin Surosentiko?” Shanum bertanya lagi. Pria paruh baya itu tersenyum senang dengan rasa ingin tahu sahabatnya Zaki. “Ki Samin Surosentiko merupakan putra priyayi yang kedua dari lima saudara laki-laki dan menyamar sebagai petani. Beliau lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso. Nama aslinya Raden Kohar.” Jelas Pak Darmo. “Oh, begitu ya. Aku jadi lebih paham tentang kebudayaan Blora,” Ucap Shanum sebagai tanda mengerti. Pak Darmo menjelaskan semua yang dia ketahui tentang Suku Samin. Memperkenalkan berbagai alat, tradisi, dan kebiasaan berkebun dengan prinsip ramah lingkungan.

     Hari itu, Shanum merasa semakin menghargai budaya Blora yang mendalam dan penuh makna. Setiap percakapan dengan tuan rumah tersebut membuka matanya terhadap nilai-nilai yang sangat penting untuk diteruskan. Waktu terasa begitu singkat, cahaya matahari sudah hamper menghilang dari bumi. Shanum merapikan tas selempangnya dan menoleh ke Zaki memberikan isyarat halus kalau sudah waktunya. Kedua remaja itu berdiri dari sofa lembut yang terletak di ruang tamu. “Pak Darmo, kami pamit dulu ya.” Ucap Zaki dengan sopan sambil mencium tangan pria tersebut, diikuti oleh Shanum yang juga mencium tangan sebagai bentuk hormat. Pak Darmo membalas dengan anggukan kecil dan senyum hangat. “Hati-hati di jalan, Nak. Sudah malam. Kalau ada waktu, mampir lagi ke sini. Pintu saya selalu terbuka untuk kalian.” Shanum tersenyum manis menambahkan, “Terima kasih, Pak. Sudah menerima kami.” Kedua remaja itu melangkah keluar dari bangunan itu, ditemani oleh sang pemilik rumah. Mereka berjalan menuju warung kecil tempat awal motor diparkirkan. “Wassalamualaikum, Pak.” Salam terakhir yang terucap dari kedua remaja tersebut untuk Pak Darmo. Pria itu membalas salam mereka, “Waalaikumsalam.” Pak Darmo mengantarkan mereka dengan tatapan ramah hingga mereka benar-benar hilang dari pandangan matanya. Di sela-sela langkah angin malam membawa percikan rasa nyaman yang membuat Shanum menoleh sekali lagi.

     Sesampainya di warung kecil, mereka melangkah menghampiri motor. Zaki mengenakan helm yang sudah berlogo SNI untuk keselamatan. Tidak lupa, Zaki juga membantu memakaikan helm berukuran M milik Shanum ke kepala kecil milik sahabatnya. Zaki menaiki motor vario miliknya, Shanum pun naik di jok belakang. Langit malam dengan cahaya bulan yang memancar. Di tengah-tengah perjalanan, Shanum mengucapkan terima kasih pada sahabat laki-lakinya karena sudah memilih Kota Blora sebagai objek penelitian budaya. Tak pernah terpikirkan di benak Shanum dapat mengenal kebudayaan seindah ini. Angin malam yang lembut meniup wajah mereka, menambahkan kesan damai sepanjang perjalanan. Zaki mengendarai motor dengan santai, sedangkan Shanum merasakan ketenangan malam. Motor itu melewati Tugu Pancasila yang berdiri kokoh di tengah Kota Blora, menjulang dengan lambang garuda yang terukir di puncaknya. Mengingatkan setiap orang yang melintas tentang dasar negara Indonesia. Shanum memandang Tugu itu, ia dibuat kagum. Cahaya dari lampu jalan menamah megah tampilan monument itu, seakan tugu tersebut menyimpan seribu cerita sejarah. “Shanum, kamu belum pernah melihat Barongan kan?” Tanya Zaki. Suara berat yang tiba-tiba muncul sedikit membuat perempuan itu kaget. “Belum, Ki.” Shanum menjawab pertanyaan itu. “Kapan-kapan aku ajak nonton ya.” Zaki memberikan ajakan pada sahabata perempuannya, rasanya belum komplit kalau ke Blora tapi tidak melhat Barongan. “Oke, Zaki.” Shanum menyetujui ajakan tersebut. Pria itu menoleh singkat ke belakang untuk melihat tampang jelita Shanum. Dia berharap bisa terus berada di situ, mengantarnya pulang seperti ini, untuk selamanya.

     Setelah sampai di kost Shanum, pemuda itu menepi dan mematikan mesin motor. Suasana malam yang tenang membuat momen terasa lebih lama. “Terima kasih sudah mau mengantarkan,” ujar gadis itu sambil melepas helm, senyumnya tetap hangat. Zaki mengangguk, “Iya, sama-sama.” Kecanggungan mulai muncul, hanya terdengar suara jangkrik di tengah sunyinya malam. “Gimana, Shanum? Senang tidak hari ini?” ujar Zaki, memecah keheningan. “Senang banget, makasih ya sudah mau sekelompok sama aku buat tugas kampus ini.” Shanum mengucapkan terima kasih, wajah manisnya tersenyum gembira, ia sangat menikmati  perjalanan lama hari ini. Zaki menatapnya dengan mata lembut. “Aku juga seneng bisa nemenin kamu.” Shanum tersenyum tipis, pipinya mulai memerah dengan tatapan lembut yang diberikan pemuda itu.”Aku masuk dulu ya, kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut,” ucap Shanum dengan nada lembut. Zaki mengangguk, sedikit canggung. “Iya, aku hati-hati kok. Masuk sana, sudah malam. Tidur yang nyenyak ya,” Kata Zaki. Shanum berjalan masuk ke dalam kost. Tangan lembutnya membuka pintu, ia berbalik sejenak ke arah Zaki yang masih duduk di motor menunggu dirinya masuk. Kedua mata itu saling beradu sebentar, ada getaran yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebelum berpisah, Zaki memberikan senyum tipis. Dia akhirnya memutar gas dan melaju pulang. Shanum berdiri di depan pintu sejenak, perasaan anaeh berkecambuk di dada. Gadis ini menampar pipinya sendiri, mencoba menyadarkan dirinya agar tidak memiliki perasaan suka pada Zaki, bagaimanapun juga mereka itu sahabat. Begitu Zaki menghilang dari pandangan matanya, Shanum melangkah masuk ke dalam kost dan menutup pintu, menyisakan kesunyian malam yang hangat dan tenang.***

Penulis: Aisyah Yumnaida Rachman